Kerajaan Kahuripan

Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu.

Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri).

Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pn membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.

Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala di India tahun 1023. Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana.

Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.

Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa.

Yang pertama dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa.

Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala.

Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.

Terakhir tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga.Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.

Calon Arang ini diceritakan adalah dukun perempuan sakti yang sempat membikin onar dengan melakukan teluh yang menciptakan wabah penyakit...banyak warga Kahuripan yang tewas karena teluhnya. Dalam legenda, teluh ini berhasil dilenyapkan setelah Airlangga meminta tolong kepada Mpu Bharadah yang kemudian membasmi Calon Arang beserta murid-muridnya.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon
Arang.

Calon Arang ini diceritakan adalah dukun perempuan sakti yang sempat membikin onar dengan melakukan teluh yang menciptakan wabah penyakit...banyak warga Kahuripan yang tewas karena teluhnya. Dalam legenda, teluh ini berhasil dilenyapkan setelah Airlangga meminta tolong kepada Mpu Bharadah yang kemudian membasmi Calon Arang beserta murid-muridnya.

Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, anak pertamanya yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi (Dewi Kilisuci), memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta.

Berhubung Airlangga juga putra sulung raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putrnya di pulau itu.Mpu Bharada dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut. Dalam perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun. Sesampainya di Bali permintaan Airlangga yang disampaikan Mpu Bharada ditolak oleh Mpu Kuturan, yang berniat mengangkat cucunya sebagai raja Bali. Raja Bali saat itu adalah Anak Wungsu, adik ketiga Airlangga sendiri.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan.

Dalam Negarakertagama, pembagian wilayah ini dilakukan oleh Mpu Bharadah, tokoh sakti yang juga menjadi guru Airlangga. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Tidak ada komentar:

Warta Loka | Seribu Satu Catatan Dalam Dunia Penuh Warna
© All Rights Reserved | Best View With Mozilla Firefox